Kamis, 26 April 2012

Selama disekap,WIDYA ternyata beberapa kali diperkosa








Jumat, 25 Juli 2008






4:02 25/07/2008


PETUNJUKNYA SURAT KUASA (AYU) Ayu ternyata beberapa kali diperkosa bergiliran



Suasana di bundaran Hotel Indonesia dengan Tugu Selamat Datang-nya masih cukup ramai sore itu, Jumat, 17 Juli 1998. Di halte Plaza Indonesia pun puluhan orang berdiri menghirup udara terpolusi asap kendaraan bermotor, menunggu angkutan umum. Di antara wajah-wajah letih itu terlihat sosok cantik Ny. Ayu Sekarwangi.

Wajah istri pemilik sebuah perusahaan real estat terkenal di Jakarta ini pasti mengingatkan orang pada bintang seksi Sharon Stone. Bedanya, Ayu berkulit kuning langsat dan bermata hitam. Rambutnya pun beda. Hitam mengkilat dan lurus terurai sebahu.

Pakaian yang dikenakannya bisa menjadi cermin simbul status yang disandangnya. Blue jeans Calvin Klein ketat dipadu dengan kaos kuning karya desainer terkenal. Pada kakinya terpasang sepatu hitam terbuka berhak rendah. Sangat pas dengan postur tubuhnya yang tinggi untuk ukuran wanita Indonesia. Telinganya yang indah, lehernya yang jenjang, lengannya yang mulus, dan jari lentiknya, penuh dengan perhiasan mahal. Termasuk, sebuah arloji Elle di pergelangan tangan kirinya

Di bahu kirinya tergantung tas kecil hitam dari kulit. Sementara tangan kanannya menjinjing kantung plastik bergambar logo Sogo. Ia baru saja selesai belanja, setelah batal mencairkan depositonya di Bank Bagus di Jl. Jend. Sudirman lantaran kasnya keburu tutup.

Biasanya dia tak pernah merasakan kotornya udara Jakarta pada jam-jam sibuk seperti saat ini. Seorang sopir dengan sebuah mobil mewah selalu menemaninya ke mana saja dia mau. Tapi kali ini sang sopir minta izin tidak masuk lantaran anaknya sakit.

Tak sampai lima menit berdiri, sebuah taksi berwarna ungu, mendekati halte. Yakin taksi dalam keadaan tak berpenumpang, wanita yang baru tiga bulan menikah ini menghentikannya. Tanpa ragu, Ayu membuka pintu belakang dan duduk sambil menyilangkan kakinya yang jenjang. Pengunci pintu ditekannya agar pintu tidak bisa dibuka dari luar.

Tanpa diduganya, baru saja 50 m taksi melaju, dari kolong jok depan, tepat di depan Ayu, muncul seorang pria dengan pisau terhunus. Secepat kilat, pria itu menempelkan ujung pisau mengkilat itu diujung leher Ayu.

“Awas kalau berteriak! Ujung pisau ini bisa menembus leher kau!” gertaknya dengan wajah garang.

Sejenak Ayu memperhatikan wajah pria di depannya. Rambutnya sedikit berombak dengan potongan sedang. Alis tebal, mata bersih, hidung mancung mirip Jeremy Thomas, kumis tipis di atas bibirnya yang tipis membuat sempurna wajah lonjong. Hanya saja di dagunya ada sedikit cacat, bekas jahitan sepanjang 1,5 cm.

Secepat kilat pria kekar berjaket kulit hitam itu melompat pindah ke jok belakang. Ayu tetap menghadap ke depan sementara pria di sampingnya menghadapkan tubuhnya ke arah Ayu dengan kaki kiri dilipat di atas jok. Tangan kanannya tetap menggenggam pisau yang dijulurkannya ke leher wanita cantik itu.

Wajah Ayu kontan pusat pasi. Bibirnya gemetaran dan tak sanggup mengeluarkan kata sepatah pun. Jantungnya berdegub keras. Udara dalam taksi yang dingin seakan terasa panas. Butiran keringat membasahi kulitnya yang mulus.

Sejenak ia melihat penampilan si sopir dari belakang. Pria di balik kemudi itu sekilas telihat kurus dengan rambut pendek. Di kedua telinganya tersangkut gagang kacamata. Ayu juga sempat melihat janggutnya sedikit berjenggot. Dari kerah bajunya bisa dipastikan, pengemudi ini mengenakan kaus merah berkerah hitam.

“Cepat serahkan semua uang dan barang berharga kau! Cepat!!!”

Dengan tangan gemetaran Ayu membuka tas kecil Gucci di pangkuannya. Sebuah handphone Motorola V Series dalam keadaan aktif diserahkannya. Sebuah dompet Cartier berwarna krem dikeluarkan dan dibukanya. Dua puluh lembar uang Rp 50.000,- dicabutnya dan diserahkan pada pria bertato kawat berduri pada leher, yang duduk di sampingnya.

“Awas, jangan ada yang tersisa!”

Kembali jarinya yang lentik dengan kuku bercat merah membuka bagian lain dari dompet itu dan mencabut 3 lembar uang dolar AS, masing-masing bernilai AS $ 100. Lalu, dua lembar lagi senilai Sin $ 200.

“Kalung kau! Arloji Kau! Cincin dan gelang kau!” bentak si pria kekar dengan kasar.

Seperti kerbau dicocok hidungnya saja, Ayu segera melepas satu-persatu perhiasan yang melekat di tubuhnya. Saat hendak menarik cincin bermata safir biru dari jari lentiknya, ia dikejutkan oleh bunyi dering handphone-nya.

“Hei, matikan saja handphone kau!” perintah pria dengan mimik menunjukkan dia mengalami gegar budaya terhadap alat komunikasi tersebut.

Ayu pun mematikan handphone.

“Lanjutkan lagi tugas kau!”

Ayu segera mencopot cincin bermata biru yang belum sempat dikeluarkan dari jarinya. Ia menyisakan sebuah cincin kawin bertatahkan berlian di jari manisnya.

“Hei, kau jangan coba-coba melawan perintah aku ya! Itu, cincin kau yang satu. Cabut juga!” ucapnya dengan nada tinggi sembari menambah tekanan pisaunya ke leher Ayu dan telapak tangan kirinya yang telah berisi perhiasan masih tetap menengadah. Satu-satunya perhiasan yang bersejarah dalam hidupnya itu diangkatnya juga. Lalu, pelan-pelan diletakkan di tangan penjahat itu.



Menolak cinta pria

Menjelang pukul 21.00, suami Ayu, Priyo Utomo, tiba di rumahnya di kawasan Pondok Indah dengan cemas. Sejak pukul 18.30, dia tidak bisa berkomunikasi lewat handphone dengan istri tercintanya. Ayu memang sempat berbicara padanya ketika sedang berada di Sogo untuk menanyakan apa yang ingin dibeli suaminya. Setelah itu mereka tak lagi berhubungan.

Dari kantornya yang megah di Jl. Rasuna Said dia sudah berupaya menghubungi mertuanya, saudara-saudaranya, dan teman-teman dekat Ayu yang dikenalnya. Siapa tahu wanita yang dicintainya berada di sana. Hasilnya nihil. Begitu juga, ketika dia menghubungi rekannya di Polda Metro Jaya, bahkan juga petugas kamar jenazah RSUPN Cipto Mangunkusumo. Ketika mau menghubungi teman-teman Ayu lain, dia terkendala nomor telepon. Karena itulah dia berusaha segera pulang ke rumah.

Bergegas Priyo masuk ke kamar tidur untuk mencari alamat teman-teman Ayu. Celaka. Setelah dicari-cari di seluruh sudut kamar, buku alamat itu tak ditemukannya. Kembali Priyo berusaha menghubungi Ayu. Upaya ini pun ternyata tak membuahkan hasil. Akhirnya, ia memutuskan untuk melapor ke petugas piket Polisi di Polres Jakarta Selatan.

Kepada petugas, Priyo melaporkan bahwa hari itu istrinya pergi tanpa diantar sopirnya. Ia juga tidak menggunakan sedan mewah yang memang dibeli untuk istrinya. Untuk keperluan penyidikan, Priyo diminta datang ke kantor Polres Jakarta Selatan esok harinya, Sabtu, 18 Juli 1998.

Sesuai permintaan petugas, Priyo hadir tepat waktu. Pada kesempatan itu dia dimintai keterangan oleh Lettu (Pol) Budi Sutiyono dan Letda (Pol) Petrus Woworuntu. Rupanya, kedua petugas ini tertarik pada ketidakhadiran sopir pribadi istrinya.

Namun Priyo menyatakan bahwa sopir istrinya, Pintu Tampubolon, sudah tiga tahun menjadi sopir pribadi Priyo. Dia tidak pernah terlambat tiba atau menjemput majikannya. Terhadap mobil yang dikemudikan, dia juga menunjukkan perilaku merawat yang baik. Dalam mengemudi, dia juga tergolong sabar. Karena prestasi kerja yang baik itu, maka Priyo berani menjadikannya sebagai sopir istrinya. Priyo juga menceritakan, pada hari hilangnya Ayu, Pintu minta izin tidak masuk karena anaknya sakit.

Ketika ditanya kegiatannya pada hari hilangnya Ayu, Priyo punya alibi kuat. Hari itu ia berangkat pukul 07.30 dengan sopirnya, Tukiman. Tiba di kantornya pukul 08.30. Karena kegiatannya sangat padat Priyo tidak sempat menghubungi istrinya. Baru sekitar pukul 16.30, ia menerima telepon dari Ayu. Tugas terakhir hari itu baru diselesaikannya menjelang petang hari. Priyo baru pulang pkl. 19.30.

“Apakah ada orang-orang di sekitar istri Bapak yang tidak menyukainya?” tanya Lettu Budi lagi.

“Setahu saya dia tidak pernah bercerita tentang permusuhan dengan orang lain sekecil apa pun.”

Priyo lalu bercerita tentang latar belakang istrinya sebelum menikah. Di lingkungan pergaulannya, Ayu nyaris tanpa cacat. Dia dikenal sebagai sosok yang cantik, cerdas, mudah bergaul dan pandai menyesuaikan diri. Ayu bahkan menjadi salah satu primadona di kelompok pertemanannya. Wajar kalau banyak teman pria yang tertarik. Bahkan, di antara cowok-cowok itu ada yang ngebet berat padanya. Wawan Setyawan namanya. Saking kesengsemnya, Wawan sampai mencoba berbagai cara untuk menarik simpati Ayu. Kalau malam Minggu, ia minta mendapatkan tugas menelepon Ayu untuk diajak nonton bioskop bersama kelompoknya. Saat Ayu berulang tahun, Wawan pun menjadi orang pertama yang mengirim bunga ulang tahun. Bahkan, teman-teman wanitanya dibujuknya untuk merayu Ayu agar mau membalas cinta Wawan. Namun cara-cara itu tak berhasil menjadi perekat.

Sebenarnya, Wawan cukup tampan dan baik hati, meski kadang-kadang terkesan urakan. Perawakannya atletis dengan kulit kuning bersih. Pria kelahiran Cianjur Selatan ini berwajah oval dengan rambut gondrong tetapi rapi. Matanya agak sipit, meski dia bukan Tionghoa. Cara berpakaiannya pun biasa-biasa saja. Dia tak pernah memakai pakaian yang mahal-mahal. Pergaulannya di luar lingkungan Ayu juga sangat luas. Temannya tak terbatas kalangan berpendidikan, tapi juga para sopir atau pengamen jalanan. Dia juga tak segan-segan untuk bergaul dengan pria-pria bertato. Karena pergaulan macam inilah, dia pernah dimintai keterangan sebagai saksi atas tindak kejahatan yang dilakukan salah seorang temannya.

Bisa jadi lingkup pergaulan Wawan yang teramat luas justru membuat Ayu takut menjalin hubungan dengannya. Yang akhirnya dipilih Ayu justru Priyo yang bukan dari kelompoknya. Pria yang berasal dari kalangan berada ini menyelesaikan pendidikan ilmu ekonomi perusahaan di AS. Lulus tahun 1995 dengan predikat sangat memuaskan dan langsung mendapat pekerjaan di Jakarta. Di lingkungan kerjanya dia terkenal egaliter. Inilah yang membuatnya disenangi oleh semua anak buah dan atasannya. Ini pula yang menjadi kesamaan dirinya dengan Wawan. Soal perawakan, Priyo tak beda jauh dengan Wawan. Hanya saja Priyo berkulit sawo matang. Wajahnya lonjong dengan rambut sedikit berombak potongan pendek. Bagian atas bibir dan pada dagunya tampak agak abu-abu oleh akar kumis dan jenggot yang dicukur habis. Di batang hidungnya bertengger kacamata minus berbingkai emas. Ia juga menyukai pakaian dan asesorinya bermerek terkenal.

Ketika Priyo dan Ayu telah saling mengenal, Wawan masih tetap mengejar Ayu. Tapi rupanya, hati Ayu sudah terpikat pada Priyo yang akhirnya menjadi suaminya.



Wawan-kah pelakunya?

Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan, polisi mendapat gambaran tiga orang yang bisa diduga bertanggung jawab atas raibnya Ayu. Priyo, Pintu, dan Wawan. Karena hari itu tak bekerja lantaran juragannya “menghilang”, Pintu segera dimintai keterangan. Pada hari yang sama Wawan juga dijemput oleh seorang anggota disertai surat panggilan.

Kepada kedua pertugas polisi Pintu mengaku, pada hari hilangnya Ayu dia mengantar anak sulungnya ke Puskesmas di dekat rumahnya di Lebak Bulus. Ia berada di sana hingga tengah hari dan langsung pulang. Setelah itu sama sekali tidak keluar rumah. Namun, selepas magrib dia ngobrol dengan tetangga sebelahnya hingga larut malam.

Pintu juga dimintai keterangan seputar kehidupan rumahtangga juragannya.

“Apakah dalam hari-hari terakhir Pak Priyo berselisih paham dengan istrinya?” tanya Lettu (Pol) Budi.

“Tidak Pak,” jawab Pintu.

“Bagaimana dengan hari-hari sebelumnya?" sergah Letda (Pol) Petrus.

“Sejak menikah hingga kemarin rumah tangga Pak Priyo tampaknya baik-baik saja. Setahu saya tidak pernah ada masalah dengan istrinya, meskipun usia mereka terpaut cukup jauh.”

Tak lama setelah Pintu dimintai keterangan, Wawan pun datang. Kebetulan hari itu Wawan libur kerja. Wawan datang dengan pakaian rapi meskipun rambutnya masih tetap gondrong. Ia mengenakan pakaian kotak-kotak biru lengan panjang dengan celana jins Levi's berwarna hitam. Sepatu kulit berwarna hitam membungkus kakinya, meskipun sebenarnya dia sangat risih menggunakannya.

Di hadapan dua orang polisi berbadan kekar dan tegap, berambut cepak, dan berwajah dingin, Lettu Budi dan Letda Petrus, dia tidak menampakkan kegelisahan sama sekali.

“Apakah betul Anda pernah jatuh cinta pada Ayu?” tanya Lettu Budi.

“Betul Pak. Ketika itu kami masih sama-sama mahasiswa dan belum punya pacar. Rupanya cinta saya tidak diterima. Meskipun begitu, saya tidak pernah patah semangat. Bahkan, ketika Ayu sudah punya pacar, saya masih tetap mendekatinya karena saya sangat menyukai kepribadiannya. Lagi pula saya punya prinsip, sebelum ada janur melengkung siapa pun masih bisa mendekatinya.”

“Setelah Ayu menikah dengan Priyo, apakah Anda masih bersikeras memilikinya?” sahut Letda Petrus.

“Tidak dong Pak.”

“Boleh tahu kegiatan Anda sejak Jumat sore kemarin?” sambung Letda Petrus.

“Sore harinya itu pukul berapa Pak?” Wawan balik bertanya.

“Pukul setengah lima sore.”

“Pada jam segitu saya masih di kantor. Saya baru keluar kantor pukul 18.30. Saya enggak langsung pulang, tapi sama teman-teman pergi dulu ke SoftRock Café untuk makan-makan.”

“Sampai jam berapa di sana,” sergah Lettu Budi.

“Sampai jam sembilan malam.”

“Anda bisa membuktikan kebenaran keterangan Anda?”

“Wah gimana ya Pak susah juga membuktikannya.”

“Anda membayar sendiri-sendiri atau ada yang mentraktir?”

“Kebetulan saya yang mentraktirnya.”

“Berapa yang Anda bayar untuk makan-makan pada malam itu?”

Sejenak Wawan mengingat-ngingat angka rupiah yang dibayarnya malam itu sambil bertanya dalam hati untuk apa pertanyaan itu dilontarkan.

“Tiga ratus … dua puluh tujuh ribu … tujuh ratus rupiah, sudah termasuk tax & service.”

“Anda membayarnya pukul berapa?”

“Kira-kira sepuluh menit sebelum pulang.”

Dari keterangan ketiga pria tadi, tiga orang polisi ditugasi melakukan pengecekan silang terhadap keterangan Priyo dan Pintu. Dari hasil kerja mereka, polisi memastikan bahwa Priyo dan Pintu tidak terlibat dalam kejadian hilangnya Ayu.

Malam harinya, dua polisi yang terkenal dengan penyidikan menggunakan cara-cara tidak konvensional ini mendatangi SoftRock Café. Dari bon pembayaran yang mereka peroleh dari manajer keuangan tempat mangkal pemuda kalangan menengah itu memang terbukti ada pembayaran senilai Rp 327.700,- yang dilakukan pada pkl. 20.48.

Sambil minum bir untuk menghangatkan badan, keduanya mulai menganalisis. Priyo atau Pintu rasanya tidak mungkin membunuh Ayu. Dugaan Priyo pinjam tangan untuk menyingkirkan Ayu juga tidak mungkin kalau dilihat latar belakang keluarga dan riwayat hidupnya bersama Ayu. Analisis pun ditujukan pada kegiatan Wawan hari itu.

“Kalau Wawan dan teman-temannya berangkat pada pukul 18.30, berarti mereka akan tiba di sini sekitar pkl. 19.30. Artinya, mereka berada di sini selama 1,5 jam. Jangka waktu selama itu termasuk wajar untuk menjamu teman di tempat seperti ini,” tutur Lettu Budi.

“Jadi, Anda tidak melihat adanya indikasi Wawan melakukan pembunuhan terhadap Ayu sebagai pelampiasan dendam lantaran cintanya ditolak,” kata Letda Petrus.

“Persis! Lagi pula sampai sekarang belum ada laporan adanya tindakan pembunuhan terhadap Ayu.”

“Kesimpulannya, Wawan bukanlah orang yang menyebabkan Ayu sampai saat ini belum kembali ke rumahnya?”

“Betul!”

“Lho, ‘kan bisa saja Wawan membayar seseorang untuk menyingkirkan Ayu. Bukankah dia juga termasuk pemuda berduit. Temannya juga ada yang preman.”

“Kemungkinan itu memang ada.”

“Nah, bagaimana kalau kita lebih dulu menyelidiki kemungkinan Wawan sebagai aktor di balik hilangnya Ayu.”

“Baik. Senin depan kita undang lagi teman kita ini.”

“Ada baiknya sekarang kita telepon dia. Kita beritahu tentang rencana ini dan surat panggilannya kita kirim pagi-pagi agar pukul 10.00 kita bisa menjamunya.”

“Saya kira ide yang bagus.”

Letda Petrus segera menelepon Wawan di rumahnya dengan handphone-nya. Rupanya Wawan tak ada. Menurut, si penerima telepon, sepulang dari kantor polisi ia pamit ke luar kota untuk beberapa hari tanpa menyebutkan kota yang dituju. Ini menguatkan kecurigaan mereka. Mereka pun sepakat untuk meneruskan penyelidikan mereka hari Senin, 20 Juli 1998.



Berkat deposito

Sabtu malam itu, Priyo berbaring sendiri di tempat tidur. Kepalanya diletakkan di atas kedua telapak tangan yang jari jemarinya bertautan. Wajahnya menengadah ke atas dengan mata berkedap-kedip memikirkan nasib Ayu. Pikirannya juga menerawang jauh ke belakang saat ia memulai kehidupan barunya yang indah bersama Ayu.

Ia membayangkan betapa indahnya bulan madu mereka, betapa asyik mereka meyusun rencana rumah tangga bersama, jumlah anak yang mereka inginkan, hingga pengaturan keuangan rumah tangga. Tiba-tiba ia teringat ada salah satu deposito mereka yang jatuh tempo pada tanggal 16 Juli 1998.

Seketika Priyo melompat dari tempat tidurnya menuju lemari dokumen. Benar, setelah memilah satu demi satu dokumen mereka, sertifikat deposito senilai Rp 50 juta a.n. Ayu, yang dicarinya, ternyata tidak ada.

Esok paginya, Minggu, 19 Juli 1998, Priyo segera mendatangi Lettu Budi untuk menyampaikan temuannya itu.

Hari Senin, 20 Juli 1998 Lettu Budi dengan ditemani dua anak buahnya yang juga berpakaian sipil, Serka (Pol) Langit Pasaribu dan Serka (Pol) Bejo Sumarno, mendatangi Bank Bagus. Sedangkan Letda Petrus menangani kasus lain. Lettu Budi segera menemui penyelia teller, Johny Winata, dan mengemukakan maksudnya. Keduanya sepakat untuk bekerja sama. Rupanya, cara ini membuahkan hasil.

Pada pkl. 10.08, seorang pria dengan postur pendek datang ke teller Henny yang melayani nasabah deposito. Penampilannya agak berbeda dengan nasabah yang datang ke bank itu. Kepalanya tertutup topi hitam dengan tulisan sebuah merek komputer. Pakaiannya kaos putih bergaris-garis hitam dan abu-abu dengan kerah hitam. Celananya blue jeans yang sudah agak pudar. Sepatu kets putih dengan strip biru sedikit memperbaiki penampilannya. Pada bahu kirinya tergantung tas ransel berwarna coklat muda seperti yang biasa dipakai anak sekolah.

Kepada Henny pria dengan gigi sedikit tonggos dan berhidung jambu ini menunjukkan surat kuasa dari Ayu untuk mencairkan depositonya. Henny pun memeriksa sertifikat yang dibawa pemuda di depannya dengan saksama. Setelah yakin sertifikat itu a.n. Ayu, Henny segera mengirim isyarat rahasia pada Lettu Budi. Dengan kode khusus pula Lettu Budi memerintahkan anak buahnya mendekati pria itu. Seperangkat borgol segera mengunci kedua lengan pria itu di belakang badannya. Tanpa perlawanan pria itu digiring ke arah mobil yang telah disiapkan.

Kepada Lettu Budi, pria itu mengaku bernama Suparno, usia 22 tahun, pedagang koran keliling. Dari pria inilah Lettu Budi tahu Ayu berada di sebuah rumah sewaan di Kampung Condong Tangerang.

Ia mencairkan deposito atas suruhan Ayu yang baru dikenalnya dua hari.

“Katanya, dia perlu uang untuk keperluan hidupnya dan tambahan modal usaha Bang Basir dan Bang Subur. Saya akan dapat uang jasa sebesar dua ratus ribu rupiah,” jelasnya.

“Siapa itu Bang Basir dan Bang Subur?” tanya Lettu Budi.

“Katanya sih masih saudara Mbak Ayu.”

Dari keterangan tersebut Lettu Budi menduga kasus Ayu merupakan tindakan penculikan dengan pemerasan.

Setelah satu setengah jam perjalanan, mereka sampai di rumah yang dituju. Dari dalam mobil Parno menunjukkan rumah tempat Ayu berada. Oleh Lettu Budi, dua anak buahnya diminta menyergap si penculik.

Keduanya menuju pintu depan rumah itu. Salah seorang mengetuk pintu. Seorang pemuda kurus dengan wajah kusut membukakan pintu.

“Ada Ayu Mas? Saya petugas dari …,” Belum kelar penjelasan dari Serka Bejo, pria itu segera kabur ke ruang tengah.

“Berhenti!” perintah keduanya bersamaan sambil mengacungkan senjata masing-masing.

Namun, yang diperintah sudah keburu menghilang. Keduanya segera mengejar ke dalam sambil menggenggam pistol dalam keadaan siap ditembakkan.

Rupanya, pria buron itu menuju pintu belakang rumah. Untung Lettu Budi sudah siap di sisi pintu itu. Dengan mudah perwira menengah itu menempelkan ujung pistolnya di tengkuk pria bertubuh krempeng itu.

“He … he … heee. Jangan coba-coba melawan kalau tidak ingin kepalamu tertembus peluru panas,” tutur Lettu Budi datar.

Segera Serka Langit dan Serka Bejo muncul di belakang mereka. Tanpa sepatah kata pun Serka Langit memasangkan borgol pada kedua lengan pria yang berhasil ditangkap itu. Dari pengakuannya, pria itu mengaku bernama Subur Hidayat. Dari dia pula diketahui Ayu berada di salah satu kamar dalam keadaan terkunci dari luar. Dengan kunci yang diberikan Subur, polisi bisa mengeluarkan Ayu dari tempat penyekapan. Sedangkan Basir Sitorus tidak ada lantaran menguntit Parno. Basir pasti sudah ngacir ketika mengetahui Parno tertangkap Polisi.

Kepada polisi Subur mengaku menculik Ayu bersama Basir serta merampas uang dan handphone Ayu. Mereka juga berhasil menguras uang tabungan Ayu senilai Rp 23 juta menggunakan 3 kartu ATM sepanjang Sabtu, 18 Juli 1998 dan Minggu, 19 Juli 1998. Sayangnya, Subur tidak bisa memberi informasi soal asal-usul Basir, karena pertemuan mereka terjadi di arena judi. Yang diperoleh polisi hanyalah informasi tentang taksi yang selama ini mereka kemudikan untuk mencari nafkah, yakni taksi Cenderawasih.

Esok harinya, Selasa 21 Juli 1998, Serka Langit dan Serka Bejo diperintahkan ke perusahaan taksi Cendrawasih. Dari kepala pool perusahaan taksi itu, diperoleh informasi, pada hari Senin Basir telah pulang ke pool pada pukul 11.30 dan tidak kerja lagi setelah itu. Data pengemudi di pool juga menunjukkan Basir adalah warga Tambun, Bekasi. Polisi segera mendatangi tempat tinggal Basir. Ternyata, rumah petak itu telah diisi orang lain.

Dari pemilik rumah diketahui Basir sempat tiga tahun tinggal di sana tapi ia meninggalkan rumah itu setelah dua bulan tidak membayar uang sewa. Beruntung pemilik rumah ini memberi informasi berarti. Katanya, Basir punya saudara penambal ban di dekat terminal Kampung Rambutan, Jakarta. Namun saat didatangi, penambal ban bernama Polan ini menyatakan Basir tidak pernah datang ke rumahnya. Ketika diminta mengantar ke rumahnya pun dia juga tidak mau. Dengan sedikit pemaksaan, barulah ia mengabulkan permintaan Serka Langit dan Serka Bejo.

Menjelang rumah yang dituju, Polan mencoba kabur. Namun, segera tertangkap kembali setelah kejar-mengejar beberapa saat tanpa ada penembakan. Dengan napas ngos-ngosan mereka menuju rumah sewaan Polan. Pintu rumah ternyata dikunci dari dalam. Kata Polan, Basir pasti ada di dalam. Diketok dan digedor tak juga ada jawaban, akhirnya pintu didobrak. Polan diborgol pada kursi. Dari pengamatan, Serka Langit tidak yakin ada penghuni di situ. Namun, Serka Bejo melihat samar-samar bekas telapak kaki pada dinding di bawah lubang langit-langit.

Serka Bejo mencoba naik ke lubang langit-langit. Namun, baru saja mengangkat tutupnya, sabetan senjata tajam mengenai tangannya dan menyebabkan polisi itu terjengkang! Sementara Serka Bejo membalut luka dengan kain seadanya, Serka Langit memberikan peringatan.

“Menyerah atau aku tembak dari bawah!” teriak Serka Langit.

Tak ada jawaban.

Serka Langit segera memberi tembakan peringatan pertama. Tak digubris. Tembakan kedua diletuskan. Tak juga ada tanggapan. Beberapa tembakan berikutnya akhirnya dimuntahkan. Ada hasilnya. Darah tampak menetes dari lubang bekas tembakan.

“Ampun, Pak …!” terdengar suara dari atas langit-langit.

“Segera turun kamu!” perintah Serka Langit.

Dengan susah payah seorang pria berperawakan kekar turun. Satu telapak kakinya telah tertembus timah panas dari pistol Serka Langit.

Segera Polan dan Basir dibawa ke kantor Polres Jakarta Selatan. Di depan Lettu Budi dan kedua anak buahnya, Basir memberikan pengakuan seperti yang disampaikan Subur.

Sementara Ayu, dalam kondisi mengenaskan, memberikan keterangan bahwa memang mereka berdualah yang menculiknya. Basir yang melakukan penodongan dan perampasan, sedangkan Subur yang mengemudikan taksinya. Segera setelah dirampas handphone, perhiasan, dan uang tunainya, Ayu ditutup matanya, dibungkam mulutnya dengan selendang dan diikat kedua tangannya, sehingga dia tidak tahu persis tempat penyekapannya.

Selama disekap, Ayu ternyata beberapa kali diperkosa bergiliran dalam keadaan tangan terikat di tempat tidur dan mulut disumpal kain. Bahkan, pernah sampai pingsan. Wanita malang itu amat ketakutan dan dalam kondisi syok berat. Pada hari Minggu, Basir mengetahui wanita muda ini juga membawa sertifikat deposito. Sifat serakah Basir kembali berbicara. Ayu dipaksa membuat surat kuasa pencairan deposito di bawah todongan pisau Basir. Parno sendiri tidak tahu kalau Ayu sebenarnya korban penculikan. Sial bagi dia. Maksudnya mendapatkan uang jasa tidak kesampaian. Sebaliknya, ia harus mendekam semalam di ruang tahanan sebelum akhirnya dibebaskan atas kebaikan hati Priyo dan Ayu.

Polan dan kedua penculik Ayu harus menjalani proses hukum. Polan akhirnya meringkuk di penjara selama 5 bulan karena melindungi pelaku kejahatan. Sedangkan Basir dan Subur mendapat hukuman penjara masing-masing 5 tahun penjara. (Fiksi/I Gede Agung




















  • NIH 2 CEWEK EMBAAT KAANG...





  • Tidak ada komentar:

    Posting Komentar